Friday, February 15, 2013

Keistimewaan Sastrawan Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk

Siapa tak kenal Ahmad Tohari, salah satu karyanya yang berupa novelnya di filmkan dan belum lama muncul di layar kaca televisi. Ya, benar sekali, novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk difilmkan dengan judul Sang Penari.

Film sang Penari adaptasi Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini dirilis pada 10 November 2011 dengan sutradara Ifa Isfansyah dan dibintangi oleh Prisia Nasution serta Oka Antara sebagai pemeran utama, aktor senior Slamet Rahardjo, Dewi Irawan dan Hendro Djarot sebagai pemeran pendukung.

Film ini bukan kali pertama yang diadaptasikan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebelumnya telah digarap film berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng yang disutradarai oleh Yazman Yazid dan dirilis pada tahun 1983. Film ini dibintangi oleh Enny Beatrice serta Ray Sahetapy sebagai pemeran utama. Bedanya Film ini diadaptasi secara lepas dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk tahun 1982. Film ini merupakan film adaptasi pertama dari novel tersebut, mendahului film Sang Penari (2011).

Namun tetap saja apabila kita membaca novel aslinya kedua film tersebut belum mampu menggambarkan kelihaian Ahmad Tohari dalam melukiskan setting dalam kata-kata, yang merupakan keistimewaan Ahmad Tohari dalam menulis yakni detil dalam mendeskripsikan setting entah itu setting waktu, tempat maupun suasana. Sehingga sense ketika membaca novel aslinya tidak didapat ketika melihat dalam gubahan menjadi Film.

Tampilan sampul sebelum di satukan dalam satu novel

Film ini bagi saya menarik sebab saya penasaran mengenai settingnya akan seperti apa, Ketika menyaksikan film Sang penari, nampak memang keaslian nuansa Indonesianya, syarat dengan setting waktu, tempat dan suasana yang menceritakan situasi, kondisi dan budaya Indonesia di pedukuhan Paruk yang bernuansa tahun 60 an yang berbau komunis, namun sekali lagi kurang bisa se detil di novel kurang nyata bagi saya, walau penuh dengan suasana paceklik, masa suram, ketika kesengsaraan secara ekonomi, politik dan hak azasi manusia demikian terpuruk : Singkong, gaplek, keracunan tempe bongkrek, tanah kering berbatu, seloroh cabul, musik calung tradisional, keprimitifan hingga perjuangan pemberontakan PKI sekalipun


Sampul novel Ronggeng Dukuh Paruk terbaru yang sudah di satukan

Ahmad Tohari sendiri adalah seorang sastrawan yang lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Ahmad Tohari lahir dari keluarga santri, Ayahnya seorang kiayi dan ibunya pedagang kain. Dalam Ensiklopedia Sastrawan Indonesia Modern disebutkan ia lahir dari keluarga yang tidak kekurangan namun lingkungan masyarakat di sekitar mengalami kelaparan.

Ahamad Tohari menulis karya terkenalnya itu yakni Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, terdiri dari novel Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jantera Bianglala (1986)

Ahmad Tohari menikah pada tahun 1970 dengan Siti Syamsiah. Istrinya bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar.